Si Gondrong Bernama Gundul (Sekolah Gundul) #3


Hari yang sangat cerah, mentari bebas menyinari cahayanya, awan-awan kumulus pun bebas menampakkan ke elokkan bentuknya. Hari ini adalah hari Senin, hari yang paling banyak dibenci para manusia, “Senin ke Minggu butuh waktu enam hari, tapi kenapa Minggu ke Senin hanya butuh waktu satu hari?” baru saja libur, tapi sudah kembali beraktifitas.

Jadwal Seninku adalah sekolah, menjadi seorang siswa di salah satu Sekolah Menengah Atas Swasta di kotaku. Tak jauh dari rumah, hanya butuh waktu enam puluh menit berjalan kaki, biasanya aku sampai di sekolah lima menit sebelum bel dibunyikan, itu pun dicampur sedikit berlari.

Beruntung, kali ini aku tak harus berjalan kaki. Aku akan berangkat bersama Gundul. Sebab lokasi kerja Gundul yang tak jauh dari sekolahku, ia pun mengajak berangkat bersama. Sudah seminggu Gundul berdiam diri dirumah sejak proyek pembangunnannya selesai. Kini ia kembali menerima tawaran, membangung sebuah masjid.

Pagi hari pukul 06.10 wib, ia sudah mengetuk pintuku, memanggil namaku berkali-kali hingga ibuku keluar menegurnya. “Martin, Martin, Mar, Mar, bangun oi.., ayo kita berangkat.”

Ibuku pun langsung membentaknya, “Hoi!!, wong ireng, ngerti isuk ora? Brisik tenan!”

“Hhehee,” Gundul hanya nyengir, “Maaf buk. Terlalu semangat.”

“Ada apa?” tanya ibuku yang masih terbawa emosi.

“Mau ngajak Martin berangkat sekolah, bu.”

“Loh., sejak kapan kau sekolah?” heran ibuku.

“Bukan, bu. Kebetulan kerjaan saya dekat dengan sekolah Martin. Makanya saya mau ajak berangkat bareng. Biar nggak jalan kaki,” jelas Gundul menenangkan ibuku.

“Yawes masuk dulu,” ucap ibuku lalu pergi meninggalkannya.

Gundul pun masuk kerumahku sembari melihat-lihat jam di dinding, sudah pukul 06.15 wib. Jujur, aku baru saja terbangun dari tidur, andai ibuku tak membangunkanku mungkin aku sudah tidak sekolah.

“Ndul..,” kataku tergesa-gesa menemuinya.

“Welleehhh, baru bangun Bro?” ucapnya kemudian geleng-geleng.

“Aduhh, sorry ndul. Terlalu nikmat baca buku semalam sampai kelewat jam tidurnya.”

“Kau sih nggak pernah solat Subuh, makanya susah terbiasa bangun pagi.”

“Haiihh, bukan karena itu, tak mungkin juga aku solat Subuh, Ndul. Sudahlah, jangan ajak ngobrol terus, aku mau cepat-cepat mandi ini.”

“Sepuluh menit harus sudah selesai. Cepatlah Martin!!,” bentaknya.

Aku pun bergegas mandi, mandi secepatnya dengan perasaan yang tak nyaman. Ini pertama kalinya Gundul mau berangkat bersamaku, bahkan dia yang mengajakku. Momen pertama kali, bukannya mendapat kesan yang enak tapi malah mendapat yang tak enak.
***

Sekitar lima belas menit aku menyelesaikan semuanya, mulai dari mandi sampai menngenakan pakaian, bahkan ibuku sendiri bilang mandiku ini seperti mandi bebek, asal basah dan asal disiram. Padahal memang begitulah mandinya seorang laki-laki, tak ada yang ribet dan cepat selesai.

“Ndul, ayo berangkat,” kataku dengan gaya songong mengenakan pakaian seragam.
“Dasar anak sekolahan,” ucapnya nyinyir. “Sekolah yang bener kau itu, Bro. Jangan hanya sekolah karena tuntutan sosial. Nggak bisa sekolah malu, ingin sekolah hanya karena melihat temannya sekolah, jangan begitu,” ceramahnya di Senin pagi. “Dimanapun tempat adalah sekolah, siapapun orang adalah guru dan setiap buku adalah ilmu. Pegang prinsip itu, bro.”

“Iyo, Ndul, iyo. Ayolah berangkat!!”

Kami pun berpamitan dengan ibu, lalu berangkat dengan kecepatan maksimal, kecepatan sebuah modifikasi motor, sebuah motor buatan sendiri, bukan bermesin original pabrik tapi bermesin dari pompa air. Modifikasi pompa air menjadi sepeda motor, itulah sisi kreatif sahabatku satu ini, Gundul, si manusia aneh yang unik.
***

Sungguh malang nasib kami, baru saja mengenderai motor unik ini sekitar sepuluh menit, kami terhenti. Motor Gundul rusak, mesin pompa air ini tiba-tiba mengeluarkan asap hitam dan suhu yang panas. Gundul hanya melihat-lihat dan kebingungan.

“Haduhh.., piye iki?” ungkpanya dengan wajah yang panik.

“Rusak, Ndul? Apa habis minyaknya?”

Ia pun membuka tutup tangki, “Masih penuh kok, Bro. Ini pasti rusak. Dimana ada bengkel di sekitar sini?”

“Lurus saja dari sini, sekitar 1 Km. Aku sering berhenti disana untuk minta air minum.”

“Yasudah, kita jalan dulu sampai sana. Sekolahmu bagaimana kalau begini?”

“Helleh, biar saja. Seandainya tak kau jemput pun aku pasti terlambat juga, bahkan mungkin tak sekolah.”

“Sekolah kok begitu,” sindirnya padaku.

“Laahh, katamu tadi dimana tempat adalah sekolah. Hahaha.”

“Haiihh..,,” ucapnya kesal. “Memangnya tak merasa rugi kalau terlambat?”

“Yaa, rugi tak rugi, Ndul. Keadaannya begini mau bagaimana lagi?”

“Hhhaa.., benar juga, Bro.”

“Hari ini pun ujian mata pelajaran yang tak sulit kok,” kulirik jam di tangan kiriku,”Masih pukul 06.35 wib, mungkin aku akan terlambat 30 menit nanti, masih ada waktu untuk mengerjakan soal, itu pun kalau di izinkan masuk sama pengawas.”

“Mata pelajaran apa?”

“PKn, Pendidikan Kewarganegaraan.”

“Menarik itu, jadi ingat dengan materi toleransi.”

“Kenapa dengan toleransi?”

“Ya, menarik. Menurutmu apa itu toleransi?”

“Toleransi itu saling menghargai, kehidupan yang penuh toleransi pasti akan damai.”

“Hmm,” balasnya sambil manggut-manggu.

“Kenapa, Ndul?” pertanyaan heran mulai meracuniku, pasti dia punya sesuatu yang berbeda.

“Toleransi masih dipelajari di sekolah, Bro?” pertanyaan darinya yang sebenarnya malas untuk kujawab. Semua orang jelas tahu, dimana pun sekolah pasti mengajarkan toleransi.

“Ya, iyalah, Ndul. Pasti itu.”

“Nanti ku tunjukan padamu sesuatu yang menarik,” ucapnya menyudahi obrolan kami selama di perjalanan menuju bengkel. Motor uniknya pun di perbaiki, kami pun menunggu sampai 40an menit. Setelah itu, kami pun melanjutkan perjalanan..
***

Waktu sudah menunjukan pukul 07:56 wib. Sebentar lagi kami akan sampai, tapi sebelum sampai di sekolah, kami akan melewati tempat dimana Gundul berkerja. Setelah lima menit, akhirnya kami pun sampai, sampai di tempat Gundul berkerja. 

“Aku kau berhentikan disini, Ndul?” tanyaku memastikan.

“Ya, sekarang berhenti disini. Tapi nanti kau tetap aku antar lah sampai depan sekolah. Itu lihatlah, yang aku janjikan tadi.”

“Apa?” aku tak paham maksudnya.

“Dimana tempat adalah sekolah, siapapun orang adalah guru dan apapun buku adalah ilmu. Inilah sekolahku, Bro, di tempat kerja ini. Dan mereka semua guruku, guru yang mengajarkan kehidupan.”

“Ya, ya aku percaya. Tapi apa hubungannya dengan PKn ku, Ndul?”

“Lihatlah teman-teman kerjaku itu,” katanya sembari menunjuk temannya yang sedari tadi sudah memanggilinya.

“Ada apa dengan temanmu?”

“Mereka itu sama sepertimu, bukan muslim, bukan beragama Islam. Yang gemuk itu Hindu, yang jangkung itu Kristen dan kami bekerja dengan damai. Ketika kamu masih menuliskan apa arti toleransi. Dalam kerjaku ini kami sudah menjalankan toleransi, membangun masjid bersama. Pun dalam pertemanan kita juga kan, Bro.”

“Hmm, ilmu baru, Ndul. Tak sia-sia aku terlambat hari ini.”

“Hahahaha.., coba lihat jam tanganmu, Bro.”

“Sudah pukul 08:02 wib”

“Bawa saja motor unik ini ke sekolahmu jika kau tak malu,” ucapnya lalu pergi meninggalkanku dan menemui teman kerjanya.[]

Cerpen:
SI GONDRONG BERNAMA GUNDUL
  1. #1: Siapa Gundul
  2. #2: Obrolan Hari Minggu
  3. #3: Sekolah Gundul
__
Penulis: Ahmad Mustaqim #Sandallll


0 Response to "Si Gondrong Bernama Gundul (Sekolah Gundul) #3"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel