Si Gondrong Bernama Gundul (Obrolan di Hari Minggu) #2


Pertemuanku dengan Gundul di warung nasi goreng itu adalah awal bagiku mengetahui tentang keskeptisan dirinya. Buku kecil yang memiliki sampul berwarna putih, bukan buku ilmiah ataupun buku sastra, “Hanya kumpulan kalimat-kalimat pendek yang dikemas secara menarik,” begitu katanya.

Buku apa itu? Aku tak pernah diberitahunya. Katanya, “Cari tahu saja sendiri! Usaha!”. Gundul memang megitu orangnya, agak pelit menurutku. Aku pernah izin meminjam bukunya itu, tapi katanya, “Hanya orang bodoh yang mau meminjamkan buku-bukunya.”.

Memang jawaban yang keras. Tapi barangkali ada benarnya juga, dibilang bodoh ya bisa, sebab kalau sudah meminjamkan buku ke orang lain, sering buku yang dipinjamkan itu tak pernah kembali atau pindah ke tangan orang lain sebelum kembali. Mungkin itulah bodoh yang dimaksud si Gundul.

Gundul memang mulai menjadi aneh ketika sering membaca buku itu, hidupnya penuh dengan pertanyaan-pertanyan yang unik. Seperti kemarin saat ia bertanya padaku tentang cinta sejati. Saat itu aku sedang santai di rumahnya, hari Minggu. Pertanyaannya memang sederhana, dan ku jawablah dengan jawaban senalarnya. Tapi ternyata, jawaban Gundul lebih menarik.

“Bro, apa itu cinta sejati?” tanyanya saat aku sedang asyik membaca iklan di potongan sebuah koran.

“Kau tanya pada orang yang salah, Ndul,” jawabku yang memang sedang malas meladeninya.

“Ahh.., apa susahnya menjawab pertanyaan seperti ini? Ini bukan logaritma apalagi kriptografi, kau bukan akan memecahkan kode enigma milik Nazi, Bro. Jadi rileks sajalah, jawab pertanyaanku ini.”

“Iya, Ndul, aku tahu lah itu. Tapi bukankah orang yang berbicara tentang cinta itu cenderung sedang merasakan cinta. Jujur saja, Ndul, aku sedang malas menjawabnya.”

“Hahahaha,” ia tertawa terbahak-bahak. “Dasar jomblo, banyak sekali alasanmu. Ya, memang begitu, tapi cinta itu bukan hanya sekedar untuk kekasih, bukan pula terus-terusan tentang itu. Orang yang berbicara tentang bahagia pun belum tentu sedang merasakan bahagia toh? Naah, jadi berbicara tentang cinta ya bicara saja, tak usah merasakan cinta. Toh ini hanya obrolan santai.”

Ku ambil secangkir kopi oplosan buatannya di atas meja lalu ku minum. Kopi hitam murni dari kebunnya di oplos dengan susu kental manis yang ku bawa dari rumah. Setalah minum kopi, ku baringkan badanku ini di lantai yang dingin. “Oke, Ndul, akan ku coba menarasikannya.”

“Silakan, rileks saja, hahahaha.”

Aku mulai memejamkan mata, menghubungkan semua jari-jari tangan kanan dan kiriku, lalu ku tempelkan di dagu sembari berimajinasi, ku ikuti gaya Sherlock Holmes, “Jadi begini, Ndul. Cinta sejati itu adalah hubungan indah antara manusia dengan manusia lain yang dijalani dengan penuh kebahagiaan, tak tergoyahkan meskipun banyak menghadapi rintangan. Seperti cintaku pada ibuku.”

“Cinta sejati penuh dengan kebahagiaan?” tanyanya seolah penuh heran.

“Ya, bayangkan jika kau sedang jatuh cinta dengan perempuan pujaanmu, kau incar dia, kau jadikan dia pendamping hidupmu, kalian menikah sampai tua bahkan sampai mati tetap bersama. Ohh indahnya,” jawabku dengan mata terpejam, penuh imajinasi.

“Lalu, kalau cinta saja kau bilang begitu, bagaimana dengan benci?”

“Benci? Hmm. Itu lawan dari cinta lah, Ndul.”

Gundul menggelengkan kepalanya, “Waahh.., bagiku bukan itu, Bro.”

Mendengar itu aku langsung membuka mata dan kembali duduk sembari menyandarkan punggung di tembok, “Lalu apa, Ndul?”

“Benci itulah cinta sejati,” jawabnya singkat.

Penuh keheranan, aku bertanya, “Haa? Maksudnya?”

“Ya, cinta sejati itu benci. Orang yang sedang merasakan cinta seperti yang kau bilang kebahagiaan tadi, cenderung akan terus memberimu rasa nyaman, rasa senang, tak lain berupa pujian-pujian, bahkan yang seharusnya dinilai buruk pun bisa berubah jadi pujian. Pun akan terlalu banyak yang disembunyikan.”

“Aku masih belum terlalu paham maksdumu, Ndul. Lalu apa hubungannya dengan benci?”

Sejenak ia meminum kopinya, lalu lanjut menjelaskan, “Aku belum selesai bercerita tadi. Benci adalah cinta, ya cinta sejati. Bagiku seseorang yang sedang merasakan benci, itulah klimaks dari yang namanya cinta. Cinta sejati ada disitu. Coba kau bayangkan, omongan apa yang bakal keluar dari seorang pembenci tentang apa yang dia benci?”

“Semua tentang keburukan yang dibencinya itu?”

“Tepat sekali,” ia mengacungiku dua jempol. “Ungkapan atau penialaian dari pembenci itulah yang senantiasa kita butuhkan untuk membenahi diri. Sebuah penilaian yang lebih jujur ketimbang penilaian orang yang katanya merasa sayang kepada kita. Yang sayang kepada kita misalnya, pasti cenderung merasa tidak enak untuk berkata jujur tentang apapun keburukan yang kita miliki, bahkan meskipun berani untuk mengungkapkan, pasti tak akan bisa sehebat atau sedetail para pembenci.”

“Apa bedanya cinta dan benci?”

“Coba saja kau cari tahu sendiri, hahaha,” iya menyuruhku berpikir.

“Cinta dan benci itu pasangan, bukan lawanan,” cetelukku menemukan gagasan.

“Hmm, keren juga. Tapi kalau aku bilang, benci itu cinta yang salah ketik di kode pikiran kita?”

“Ahh, ya, itu keren, Ndul. Benci adalah cinta yang salah ketik pada kode pikiran manusia,” ucapku menyimpulkan. “Tapi benarkah begitu?”

“Kesimpulan yang menarik,” ungkapnya sembari manggut-manggut. “Sekarang tinggal setiap individu manusianya, bagaimana mereka menyikapi para pembenci. Kalau saja para pembenci itu bisa dianggap sebagai cinta sejatinya, hmm..,” matanya mulai melirik keatas membayangkan sesuatu.

“Dunia ini penuh dengan cinta, penuh kedamaian, hhhhaa,” tawaku spontan. “Sebab para pembenci itu tak dilawan dengan benci pula.”

“Hmm, kadang ada benarnya juga pikiranmu, Mar.”

“Mar?” baru kali ini ia memanggilku dengan sebutan yang berbeda.

“Ya, Martin.”

“Hahahaha, oke, Bro.”

“Sialan, hahaaha,” satu kata penutup darinya menyudahi obrolanku Minggu itu. Sebab Ibuku datang menjemput dan menyuruhku untuk membantunya, membantu menjualkan setumpuk barang rongsokan yang sudah di kumpulkan Ayahku dari kemarin.[]



Cerpen:
SI GONDRONG BERNAMA GUNDUL
  1. #1: Siapa Gundul
  2. #2: Obrolan Hari Minggu
  3. #3: Sekolah Gundul
__
Penulis: Ahmad Mustaqim #Sandallll

0 Response to "Si Gondrong Bernama Gundul (Obrolan di Hari Minggu) #2"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel