Catatan Maryani (Sandal Jepit) #2


Oleh: Ahmad Mustaqim (Mahasiswa PGMI IAIN Metro)

Sudah kutentukan. Arah baru tujuan hidupku. Aku memilih bersama Bayu. Hidup mengabdi, mengajar di pelosok desa daerah Jambi. Beberapa hari yang lalu ia datang kerumah mengajakku. Setelah aku mengabarinya, mengatakan siap bersedia, ia pun memberiku waktu satu minggu untuk menyiapkan segalanya.

Katanya, "Bawa semua barangmu yang sangat diperlukan. Bila perlu powerbank, sebab harus ke pusat kota dulu untuk mengecas. Obat pribadi atau khusus kalau punya juga dibawa."

Ini sudah hari ke empat sejak ia datang kerumahku kala itu. Banyak pesan pengingat darinya. Dan kini, aku masih saja mengemasi barang yang sekiranya banyak bermanfaat disana. Terlebih untuk hidup mungkin sekitar satu tahun sebelum kemudian mudik.

Tak jarang aku selalu bertanya pada Ibu juga Bapak, "Bu, Pak, bawa apalagi ya? Kayanya udah masuk semua, deh."

Biasanya Ibu cuma jawab, "Buka semua lemarimu nanti pasti keinget yang mau dibawa". Kalau aku tanya ke Bapak, cuma dibilang, "Gowo klambi sing akeh lan mental sing gede". Memang benar kata Bapak, hidup di daerah yang (katakanlah) kurang nyaman harus benar-benar mempersiapkan mental. Banyak yang sudah mencoba dan akhirnya tak betah.

Semua lemari sudah kubuka, tersisa beberapa barang yang kukira tak terlalu diperlukan. Tapi ada satu tempat lagi yang sampai saat ini belum kuperiksa. Bukan lemari, melainkan tumpukan mainan masa kecilku. Semua ada di dalam kardus dan disimpan dibawah ranjang tidur Ibu. Bertahun-tahun tak pernah dibongkar, hanya berpindah tempat saja. Kini aku penasaran, barangkali ada sesuatu yang bisa dibawa, yang akan membuatku rindu setiap hari dengan kota ini.

Ku bongkar kardus itu. Kudapati tali karet panjang, itulah karya tangan kreatif pertamaku. Ratusan karet gelang berwarna merah disatukan hingga panjangnya dua meter. Dulu sering kugunakan untuk bermain karet (khas perempuan) dan skipping. Tali karet itu mengingatkanku pada gadis yang cantik dan baik. Teman sebayaku yang kini menjadi Polwan, Annisa. Dia yang mengajariku membuat tali karet itu.

Ada juga belasan tutup pasta gigi. Mainan khas perempuan zamanku dulu. Tutup pasta gigi itu dipadukan dengan bola kecil berbahan karet yang daya pantulnya sangat besar. Disebutlah permainan itu dengan Bola bekel. Mainan yang kini rasanya telah punah. Tak pernah lagi kulihat rombongan remaja gadis yang memainkannya. Permainan yang menjadi lawan tangguh bagi khasnya permainan lelaki. Ketika sore datang, teman-teman lelakiku bergegas ke lapangan bermain bola, sepak bola. Kami para perempuan pun juga bermain bola, bola bekel.

Masih banyak lagi permainan masa kecilku yang tak mampu kusebutkan semuanya. Aku pernah bermain gundu, binder, barbie, congklak, catur dan lain lagi. Aku suka menyimpan apapun. Semuanya yang bisa menjadi kenangan. Kalau tak ada barang yang bisa disimpan sebagai bukti sejarah, aku menulisnya di buku diary. Tapi sayang, buku diary masa kecilku telah hilang. Ikut terjual bercampur barang rongsok.

Saat kutumpahkan tumpukan mainan ke lantai. Ada satu mainan yang membuatku senyum-senyum sendiri. Seperti orang tak waras. Aku teringat dengan seseorang, dan sedikit kisah yang kujalani dengannya. Ku ambil barang itu, kotor dan berdebu. Aku berlari kebelakang mencari lap untuk membersihkannya.

"Bu, lap dimana ya?"

"Untuk apa tho, ndok? Itu dipojok meja dapur samping pisau."

"Cuma untuk beresin barang yang mau dibawa besok, Bu."

Ku bersihkan barang itu. Barang yang mungkin tak ada lagi harganya. Tapi menyimpan banyak kenangan. Hanya sebuah sandal jepit. Tak ada pasangannya, hanya sandal sebelah kanan dan tak ada selampatnya.

Sandal yang menjadi saksi tak adanya batasan antara perempuan dan lelaki dalam hal permainan. Sandal itu juga yang menjadi saksi ungkapan cinta seorang anak kecil, cinta yang sering dikatakan sebagai cinta monyet, dialah Doni.

Sandal itu diberikan saat kami bermain bersama dalam satu permainan. Permainan itu adalah srampangan. Permainan yang bisa dimainkan siapa saja. Semua pemain tak bisa diremehkan, baik itu perempuan maupun lelaki. Setiap pemain dalam permainan ini membutuhkan satu senjata (biasanya kayu) untuk dilemparkan ke target (bahasa jawa: di srampangne). Target itu adalah tiga sandal jepit yang diberdirikan, seperti segitiga.

Awal dari permainan ini adalah setiap pemain melemparkan sejauhnya senjata yang dimiliki dari target sandal jepit yang berdiri segitiga. Yang terjauh akan melempar target lebih dahulu, jika ia berhasil merobohkan sandal jepit maka yang letaknya paling dekat dengan target sandal jepit harus berjaga. Tapi jika gagal merobohkan, maka yang terjauh kedua mendapat jatah melempar target. Jika berhasil, maka yang baru saja gagal (pemain yang pertama melempar ke target) harus berjaga. Dan seterusnya seperti itu. Jika gagal semua maka diulangi melempar sejauhnya dari target agar mendapat jatah pertama merobohkan.

Saat itulah, temanku Memet yang sering berjaga. Kami ada sepuluh pemain, remaja-remaja kampung asal Lampung. Perempuannya ada Aku, Annisa dan Nia, sisanya para lelaki termasuk Memet dan Doni. Sama halnya dengan "petak umpet", yang berjaga dalam permainan ini harus mencari para pemain yang bersembunyi. Jika menemukan, maka yang berjaga harus menyebut nama pemain yang ditemukan sembari melangkahi target sandal jepit. Saat itulah dapat dikatakan berhasil, kemudian berlanjut mencari sisa pemain yang belum ditemukan.

Petaka bisa saja muncul ketika terlalu fokus mencari yang bersembunyi dan lupa menjaga target. Jika terlalu jauh dari target, bisa saja pemain lain berlari dan merobohkan target sandal itu. Caranya beragam, jika memungkinkan untuk mendekati target, biasanya ditendang sekuatnya hingga terpental jauh berantakan. Jika tidak maka senjata itulah yang berfungsi untuk merobohkan target, yaitu dengan disrampangkan (dilemparkan). Maka saat itulah semua pemain yang sudah berhasil ditemukan langsung kabur bersembunyi kembali, karena itu adalah tanda mereka diselamatkan.

Di moment itulah, sandal jepit pemberian Doni memberi banyak manfaat. Entah apa yang terjadi padaku, rasanya tingkat akurasi lemparanku makin besar. Aku sering menyelamatkan pemain lain. Bahkan saat aku menjadi pemain terakhir yang harus ditemukan. Sandal itu Doni berikan ketika aku sedang berdua dengannya di persembunyian belakang rumah.

"Yani, kalau kau pakai kayu itu akan terlalu repot. Panjang sekali. Lama untuk melemparnya. Bisa tertangkap dulu kau nanti. Gunakan ini saja," ia pun memberiku sandal itu.

Mulai saat itulah aku sering bersembunyi dengannya. Saling merancang strategi bersama. Saat Doni tertangkap, maka aku yang menyelamatkan, dan sebaliknya. Kami sering dikatakan duo klop. Hingga akhirnya, bocah kecil itu menyatakan cinta monyetnya padaku. Aku yang masih kecil dan polos tak begitu peduli, hanya mengabaikan. Rasanya aku harus tertawa jika teringat ini.

Srampangan adalah salah satu permainan masa kecilku yang kurasa saat ini sudah tak dimainkan lagi, terutama di kotaku. Begitu banyak permainan masa kecilku yang kini telah tiada. Kupikir memang karena perubahan zaman. Teknologi semakin meraja lela. Banyak anak lebih memilih bersosial media. Padahal dampak negatifnya, sosial media justru menjadikan orang anti sosial.

Dulu jika tak kumpul dengan teman terasa begitu hampa, seperti dikurung dalam ruang isolasi bernama rumah. Dulu setiap kumpul, pasti ada saja permainan baru yang seru dan lucu. Begitu kreatif. Aku ingat bagaimana teman-temanku bisa membuat Reog dengan kardus, bermain Kuda lumping dengan kaleng dan botol bekas, membuat senjata dengan pelepah pisang, pistol paralon, dan banyak lagi. Semua dibuat oleh anak-anak yang masih setingkat SD.

Kini aku melihat anak-anak seumuranku dulu tak lagi seperti itu. Mereka sudah mengenal berbagai kenikmatan teknologi dalam genggaman. Semua bisa ia dapatkan. Game hiburan dengan mudah mereka download dan mainkan. Bahkan kadang sampai lupa untuk bermain dengan teman yang sesungguhnya. Mereka terkurung dalam permainan digital.

Teknologi memang tak bisa ditolak. Justru akan jadi orang tertinggal jika kita menolaknya. Namun yang seharusnya dilakukan adalah memanfaatkan sebagaimana mestinya. Jangan sampai diperbudak teknologi, apalagi menjadi budak teknologi sejak dini. Parahnya lebih menyukai dunia sosial media ketimbang dunia sosial yang nyata.

Sandal jepit itu mengingatkanku akan banyak hal. Terutama tentang perubahan zaman yang semakin modern. Zamanku dulu sebuah pertemuan dilakukan dengan percakapan. Kini telah berubah, bukan lagi dua, tiga, atau lebih orang saling bercakap tapi beberapa orang yang saling membaca. Ohh.., sandal jepit, telah lama aku tak bercakap, bahkan tak saling membaca text lagi dengannya, Doni.[]

___
Full Catatan Maryani
  1. Perubahan
  2. Sandal Jepit
  3. Sarjana
To be continued....

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel